Jumat, 21 Januari 2011

Olahraga Sebagai Pembangun Karakter Bangsa


BAB I
PENDAHULUAN



A. Abstrak
Partisipasi dalam olahraga selalu menjadi bagian penting di lingkungan kita. Orang-orang mengiukuti kegiatan olahraga dengan alasan kesehatan dan kebugaran, namun ada pula dengan maksud untuk membangun karakter dan sosialisasi.
Benarkah olahraga membangun karakter, ini masih menjadi perdebatan. Dalam makalah ini ditambahkan bahasan mengenai karakter apa dan apa saja yang terkait dalam olahraga untuk membangun olahraga, serta adanya review tentang beberapa literature dan penelitian mengenai olahraga yang membangun karakter.

B. Latar Belakang

Sport berasal dari bahasa Latin ”disportare” atau “deportare” dalam bahasa Itali”deporte” yang artinya penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk bergembira. Dapatlak dikatakan bahwa sport ialah kesibukan manusia untuk menggebirakan diri sambil memelihara jasmaniah. Sedangkan antara sport dan bermain terdapat hubungan yang erat dan mempunyai sangkut paut yang bersifat strukturil, bahwa sport adalah sebuah bentuk dari bermain yang lebih sempurna. Tetapi tidaklah dikatakan bahwa semua bentuk bermain adalah sport. Sport adalah sesuatu yang terkembang dari bermain, merupakan hasil perpaduan dari :
1. Kebutuhan akan ketangkasan jasmani
2. Kebutuhan akan kesanggupan untuk mengatasi situasi
3. Kebutuhan akan mencapai nilai-nilai keindahan
4. Kebutuhan akan kegembiraan yang menyegarkan (rekreasi)
Olaraga menjadi bagian penting secara sosial dan budaya tidak hanya di Amerika melainkan juga di seluruh dunia. Olahraga dilakukan oleh seluruh tingkatan usia mulai usia yang sangat muda sampai usia yang sangat tua, dengan tujuan dari sekedar kesenangan, rekreasi sampai untuk tujuan professional.
Olahraga dapat dilaksanakan dengan jumlah yang besar dari berbagai usia di sekolah, klub, perusahaan dan pusat-pusat masyarakat. Kecuali untuk anak-anak olahraga tidak terpaku pada rekreasi atau olahraga yang terorganisir. Di kampus dan perguruan tinggi, mahasiswa melakukan olahraga di dalam gedung, klub dan berbagai pertandingan antar kampus. Michener (1976) menyatakan: “Orang muda membutuhkan pengalaman penerimaan: hal itu bisa diperoleh dari berbagai cara tetapi di Amerika olahraga merupakan pilihan utama untuk pengalaman tersebut. “
Olahraga memberi kesempatan yang sangat baik untuk menyalurkan tenaga dengan jalan yang baik di dalam lingkungan persaudaraan dan persahabatan untuk persatuan yang sehat dan suasana yang akrab dan gembira.

Tetapi kini kita menghadapi kubu-kubu yang kuat baik yang merupakan alam pikiran, sikap hidup, tradisi dan kebiasaan yang semuanya adalah peninggalan penjajahan ditambah dengan feodalisme semenjak 350 tahun yang lalu. Dan kadang-kadang kubu-kubu itu tidak dapat kita lihat tetapi dapat kita rasakan karena sembunyi di dalam diri manusia.

Karena itu kita harus menyelami alam pikiran pandangan dan sikap seseorang untuk dapat membantu dia membuang sisa-sisa penjajahan yang masih bersarang dalam dirinya untuk secara sadar membantu gerakan olahraga.





BAB II
PEMBAHASAN



A. Definisi Karakter Watak Bangsa
Orang melakukan olahraga dengan berbagai alasan –kesehatan dan kebugaran, manajemen stress, sosialisasi, relaksasi dan lainnya. Salah satu alasan penting lainnya adalah pengembangan karakter. “Olahraga membangun karakter” sering menjadi slogan. Sayangnya, olahrga bukan untuk membangun karakter.
Saat ini masalah utama dan sering menjadi masalah di berbagai level adalah kelaziman perilaku yang tidak pantas dan karakter buruk. Skandal penjiplakan, obat-obatan, kekerasan, arogan dan perbuatan buruk lainnya dalam olahraga selalu menjadi pertentangan norma. Brenda Bredemeier (dalam sebuah percakapan pribadi, Februari 2005) menggambarkan bahwa periaku atlit dalam olahraga berbeda dengan kenyataan hidup sehari-hari –istilahnya moralitas dalam kurung.
Moralitas dalam kurung berarti bahwa dalam sebuah even olahraga, segala sesuatunya bisa terjadi. Para atlit akan sering menampilkan prilaku yang pro-sosial dalam sebuah pertandingan olahraga (cara yang mereka pikir harus mereka lakukan). Beberapa penelitian (Brendemeier & Shields, 1985; Eitzen & Sage, 2003) memunculkan bahwa perilaku dalam olahraga berbeda dan terpisah dengan kenyataan hidup sehari-hari.
Sementara suatu klaim menyatakan bahwa karena olahraga dan bermain terpisah dari kenyataan hidup, ketidakberhubungan ini membenarkan adanya perilaku yang tidak pantas, yang lainnya mengatakan bahwa olahraga menandakan kehidupan sebenarnya (Coakley, 2001). Olahraga, seperti bisnis, pendidikan, sosialisasi dan perang, semuanya adalah bagian dari kenyataan hidup. Asal mula yang berbeda tersebut merupakan bagian kenyataan hidup yang sungguh nyata. Kajian filosofis atau teori-teori yang memisahkan olahraga dari kehidupan nyata memberi dorongan bagi pelaku olahraga dan memberikannya perilaku yang dibenci dan tidak pantas di masyarakat.
Moralitas dalam kurung tidak bisa dan tidak harus menjadi cek kosong (blank check) terhadap perilaku dalam olahraga. Sama halnya dengan perang dimana ada aturan peperangan (sesuai dengan Konvensi Geneva) dan standar perilaku, dalam kehidupan olahraga pun terdapat “benar” dan “salah”. Dalam kajian yang berbeda, meski diperoleh keuntungan dari kajian akademik dan filosofis, sebenarnya hal itu menyebabkan permasalahan perilaku buruk dalam olahraga.
Berbagai definisi tentang karakter datang dari berbagai sumber –tak satupun yang dianggap salah. Kalangan filosof telah memilki kecenderungan untuk mendefinisikan karakter dari perspektif esoteric (hanya orang tertentu yang memahami) dan telah menganggapnya nyata dalam kehidupan dengan perilaku dan perbuatan seseorang.
Kalangan sarjana sering mengambil perspektif lebih teoritis dalam mendefinsikan karakter. Salah satunya yang didefinisikan Bredemeier & Shields (1995), yaitu karakter adalah keadaan internal yang dimanifestasikan dalam perilaku. Keadaan internal tersebut memandu keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang menentukan kualitas diri seseorang (Marrella, 2001) Bredemeier & Shields (1995) mengindikasikan karakter sebagai dimensi terdalam dari seseorang yang proses tindakan moralnya menjadi perilaku. Brody & Siegel (1992) mendefinsikan karakter dengan istilah keseluruhan kulaitas moral seseorang. Marrella (2001) mempercayai seseorang dengan karakternya berarti manandakan kebenaran, memutuskan apa yang benar, dan memiliki dorongan dan komitmen untuk bertindak secara mendasar.

B. Olahraga Sebagai Pembangun Karakter Bangsa
Menurut beberapa ahli, cara yang efektif dan umum untuk membahas karakter, adalah dengan mengetahui apa itu, dari mana berasal atau dengan pendekatan bawaan (Bredemeier & Shields, 1995).
Orang dengan karakter moral yang baik datang untuk memiliki tingkat kebajikan yang luas dan rela ditempatkan untuk melakukan keinginannya baik untuk jangka panjang maupun untuk jangka pendek (Arnold, 2001). Contoh, seseorang dengan karakternya menampilkan bawaan respek, integritas, jujur, bertanggungjawab, berani, adil, kasih sayang dan memihak. Bredemeier dan Shields (1995) menggambarkan karakter olahraga dengan empat kebijakan: kasih sayang, adil, sportif, dan integrative, serta percaya bahwa kepemilikan terhadap sifat-sifat atau kebijakan tersebut memfasilitasi penampilan konsisten tindakan moral dalam olahraga (Bredemeier & Shields, 1995).
Dalam dunia olahraga, banyak pelatih yang berhasil telah mengajarkan kepribadian dan kebajikan karakter dalam olahraga dengan waktu yang sangat lama. Pelatih basket legendary di UCLA, John Wooden (Wooden & Jamison, 1997), menyatakan tentang pentingnya karakter dan karakter apa yang harus dilakukan seorang atlit dengan menyatakan “kemampuan akan mangantarkan kamu ke puncak dan menguasai karakter akan menjaga kemampuan itu” (h. 199) Dia juga mengatakan, “Harus lebih memperhatikan karakter daripada reputasimu, karena reputasi kamu adalah apa yang orang pikirkan tentang kamu, sementara karakter adalah kamu yang sesungguhnya” (h. 199).
Mike Krzyzewski (2001) percaya bahwa karakter seseorang terefleksi dalam cara dia melakukan kembali pada situasi yang sulit dan menguji. Dean Smith, John Thompson, dan Joe Paterno adalah pelatih sukses lainnya pada tingkat perguruan tinggi, menekankan perkembangan karakter dalam programnya.
Dalam dunia militer, karakter didefinisikan sebagai cara seseorang bertindak saat tidak ada orang yang melihatnya. Praktisnya, ini mengartikan apa yang dilakukan orang tersebut –bagaimana dia bertindak. Tentara Amerika menggunakan 7 standar untuk mengukur bawaan –dengan mendefinisikan karakter seseorang pada: loyalitas, tugas, respek, servis toleran, kejujuran, integritas dan keberanian.
Untuk mendefinisikan karakter lebih akurat, akan membantu memecahkannya dari sudut pandang psikologis seperti yang akan digambarkan pada bagan berikut. Pandangan penulis adalah bahwa karakter seseorang muncul dalam sebuah setting olahraga dengan menampilkan respek dan integritas (bukanlah karakter bila perilakunya tidak respek dan integritas).

C. Cara Membangun Karakter Bangsa
Manusia adalah makhluk dwi-dimensi. Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh Ilahi. Debu tanah membentuk jasmaninya dan ruh Ilahi yang dihembuskan-Nya itu  melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan mengasah daya nalar lahir kemampuan ilmiah; dengan mengasuh  daya kalbu lahir antara lain iman dan moral yang terpuji; dan dengan menempa daya hidup tercipta semangat menanggulangi  setiap tantangan  yang dihadapi.
Jati diri manusia sebagai makhluk sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasar keseimbangan antar unsur-unsur kejadiannya, yang tercapai melalui pengembangan daya-daya yang dianugerahkan Tuhan itu. Jati diri yang kuat serta sesuai dengan kemanusiaan manusia, terbentuk melalui jiwa yang kuat dan konsisten, serta memiliki integritas, dedikasi, dan loyalitas terhadap Tuhan dan sesama makhluk. 
Kendati setiap individu memiliki ego dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat bertentangan dengan ego individu lain, namun mereka harus menjalin hubungan kerjasama, sebab manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri guna memenuhi kebutuhannya yang demikian banyak dan beragam. Guna langgeng dan harmonisnya jalinan kerja sama itu, maka harus dibangun atas dasar manfaat dan keuntungan bersama, bukan bertujuan  untuk menang sendiri atau kepentingan kelompok tertentu.
Dari sinilah diperlukan moral, di mana seseorang mengorbankan sebagian kepentingan egonya demi mencapai tujuannya, bahkan demi membantu yang lain untuk mencapai tujuannya. Perlu dicatatat bahwa jiwa manusia merasakan kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani setiap berhasil mengendalikan dorongan nafsunya, selama kalbunya masih berfungsi dengan baik. Karena itu, dalam konteks meningkatkan kesadaran moral, perhatian harus banyak tertuju kepada kalbu.


D. Fungsi Karakter Watak Bangsa
Watak merupakan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing individu dan membedakannya dengan individu lain. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, karakter membedakan satu bangsa dengan bangsa yang lain. Suatu contoh, salah satu karakter bangsa Indonesia adalah kekeluargaan dan gotong royong. Hal ini berbeda dengan karakter bangsa Jerman, Amerika Serikat, dan lain-lain. Karakter menjadi identitas suatu bangsa.
            Karakter bangsa Indonesia yang terangkum dalam Pancasila selalu melekat dalam diri semua rakyat Indonesia. Sikap dan pola perilaku sehari-hari senantiasa mengacu pada tata nilai yang berlaku. Intinya, karakter bangsa juga merujuk pada nilai-nilai luhur bangsa.
            Satu hal yang tidak dapat ditolak oleh bangsa Indonesia maupun bangsa-bangsa lain di dunia, yakni perubahan. Perubahan dalam berbagai aspek secara meluas antarnegara di dunia yang disebut globalisasi. Aroma globalisasi tercium hampr di semua negara.
            Globalisasi datang dengan pembaharuan. Globalisasi pun mendatangkan berbagai dampak. Dampak positif dan negatif yang kian lama kian terasa, khususnya di Indonesia.
Dampak positifnya, globalisasi membawa berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membantu memudahkan hidup manusia. Penemuan mesin-mesin canggih di Amerika Serikat atau Jepang misalnya, sudah dapat diakses di Indonesia. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi, industri, dan lain-lain, memberikan keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia sebagai salah satu modal menuju pembangunan nasional.
            Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Masih ada satu permasalahan penting yang mengganjal. Arus negatif globalisasi datang seiring dengan dampak positif yang berjalan cepat di Indonesia. Arus negatif tersebut telah menimbulkan berbagai kekacauan dan sedikit demi sedikit mengguncang tata nilai dan moral bangsa Indonesia, mulai meruntuhkan karakter bangsa yang telah lama dibangun di Indonesia.
Suatu contoh, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melahirkan internet sebagai akses komunikasi cepat. Segala informasi dengan mudah didapatkan dari internet. Tetapi apa yang terjadi jika para pengakses internet, khususnya generasi muda, tidak memiliki filter yang kokoh untuk menyaring segala informasi yang diterima? Ini merupakan hal yang fatal. Maraknya situs pornografi yang mudaj diakses, situs kekerasan yang setiap hari bisa dilihat, semua itu mampu mengikis karakter dan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan niai-nilai luhur Pancasila.

E. Perkembangan Karakter dan Partisipasi dalam Olahraga
Olahraga tidak membangun karakter. Karakter dapat diajarkan dan dipelajari dalam setting olahraga. Pengalaman olahraga dapat membangun karakter, kecuali jika lingkungannya dibentuk, dinyatakan, dan direncanakan untuk mencapai tujuan mengembangkan karakter. Jenis lingkungan ini harus memasukkan semua orang seperti pelatih, official, orang tua, pemain dan lain-lain yang menjadi pelaku dalam setting olahraga tersebut.
Coakley (2001) telah merekomendasikan sebuah setting olahraga yang menempatkan pemain mendapatkan penghargaan lebih dari cara mereka bermain, sportsmanship, melebihi penghargaan dari kemenangan dan kekalahan yang mereka alami. Hellison (2003), Parker dan Stiehle (2004) sungguh percaya bahwa karakter positif dapat dan harus diajarkan dan dipelajari dalam setting aktifitas olahraga. Program olahraga pada semua level dapat dirancan g secara khusus untuk mengembangkan baik gayahidup aktif maupun karakter positif (Alberts, 2003). 

F. NIlai-Nilai Karakter Watak Bangsa
            Tampaknya tidak berlebihan jika bangsa Indonesia selama ini digambarkan sebagai bangsa yang mengalami penurunan kualitas karakter bangsa. Mulai dari masalah gontok-gontokan , kurang kerja sama, lebih suka mementingkan diri sendiri, golongan atau partai, sampai kepada bangsa yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter bangsa yang diakui kebenarannya secara universal.
              Karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola piker yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Sekurang-kurangnya ada 17 nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dibangun oleh bangsa Indonesia. Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang dimaksud adalah iman, taqwa, berakhlak mulia, berilmu/berkeahlian, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong royong, sehat, mandiri, kreatif, menghargai, dan cakap.
Nilai-nilai yang telah disepakati itu  harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini.  Hanya dengan penghayatan karakter dapat terbentuk. Tidak ada gunanya berteriak sekuat tenaga atau menulis panjang lebar tentang nilai-nilai dan keindahannya, jika hanya terbatas sampai di sana. Ini bagaikan seseorang yang memuji-muji kehebatan obat, tetapi obat itu  tidak  ditelannya sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Ia harus menelannya, lalu membiarkan darah mengalirkan obat itu ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian dirinya yang sakit,  bahkan lebih memperkuat lagi yang telah kuat.  
Selanjutnya, karena nilai-nilai yang dihayati membentuk karakter, maka nilai-nilai yang dihayati seseorang atau satu bangsa dapat   diukur melalui karakternya. Perubahan yang terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut  atas dasar kesadaran mereka, dan bisa juga karena terperdaya atau lupa  oleh satu dan lain sebab. Dari sini diperlukan nation and character building.  Membangun kembali karakter bangsa mengandung arti upaya untuk memperkuat ingatan kita tentang nilai-nilai luhur yang telah kita sepakati bersama dan yang menjadi landasan pembentukan bangsa, – dalam hal ini adalah Pancasila, disamping membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pandangan bangsa.  Inilah yang dapat menjamin keuntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kelestarian Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa.
Semakin matang dan dewasa satu masyarakat, semakin mantap pula pengejewan-tahan nilai-nilai yang mereka anut dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang belum dewasa, adalah yang belum berhasil dalam pengejewantahannya dan masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.Penyakit bila berlangsung tanpa diobati akan mempercepat kematian masyarakat. Bila penyakit masyarakat berlanjut tanpa pengobatan, maka kematian masyarakat tidak dapat terelakan.

G. Pembentukan Karakter Watak Bangsa
Karakter berbeda dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat  sulit diubah karena ia dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat biologis. Sedang karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, ia dinamai rusyd. Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan  dari nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa.  
Karakter terpuji  merupakan hasil internalisasi nilai-nilai  agama dan  moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya, bisa juga seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji. “Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati”. 
Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang. Dalam konteks membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus disepakati dan dihayati  bersama.

Disepakati  karena kalau setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seorang perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolok ukur hubungan antar masyarakat. Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang bersangkutan sendiri.  Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin  bukan lagi  manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita. 
Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan orang perorang secara individu, tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat secara kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nlai, dan tolok ukur moralnya dan hasil pilihan  itulah yang dinamai  Jati diri bangsa.  Dengan demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang terbentuk melalui proses yang panjang. Memang  rumusannya dicetuskan oleh kearifan the founding  fathers bangsa, tetapi itu mereka  gali dari masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah Pancasila.

H. Membangun Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Kontekstual
Dalam dunia pendidikan masih ada kalangan pendidik yang menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari tercapainya target akademis siswa. Karena itu wajar jika sebagian mereka ada yang mengajar hanya dengan orientasi bahwa siswa harus mendapatkan nilai akademis setinggi-tingginya jika ingin dianggap telah berhasil.
Belum terfikirkan bagaimana proses pembelajaran membawa siswa kepada sosok generasi bangsa yang tidak sekedar memiliki pengetahuan, tetapi juga memilki moral yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam benak siswa. Seiring dengan era globalisasi dan kemajuan dunia informasi, bangsa Indonesia tengah dilanda krisis nilai-nilai luhur yang menyebabkan martabat bangsa Indonesia dinilai rendah oleh bangsa lain. Oleh karena itu, karakter bangsa Indonesia saat ini perlu dibangun kembali.

Bila terdapat hal-hal dalam   diri angggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Sekali lagi terlihat disini betapa pentingnya melaklukan apa yang diistilahkan dengan  Character and Nation Building “
Masyarakat melakukan hal tersebut melalui pendidikan.  Disinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan.  Karena itu pula  ukuran keberhasilan lembaga pendidikan – khususnya  Perguruan Tinggi-  bukan saja melalui  kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para staf pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan  emosi dan spiritual civitas akademikanya. Kecerdasan   intelektual-  jika   tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia bahkan kemanusiaan seluruhnya akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri, masyarakat bahkan kemanusiaan seluruhnya.
Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota masyarakat bangsa, karena masyarakat adalah kumpulan individu  yang hidup di satu tempat dengan   nilai-nilai yang  merekat  mereka. Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk   berdasar tujuan yang hendak mereka capai. Ini karena setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budaya dan nilai-nilainya, yang lahir dari pilihan dan  kesepakatan mereka . 
Untuk mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan  lingkungan yang kondusif, pelatihan dan pembiasaan, presepsi terhadap pengalaman hidup dan lain-lain. Disisi lain katrakter yang baik  harus terus diasah dan  diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama penganugerahan hidayat Tuhan tidak terbatas, sebagaimana tidak bertepinya samudra ilmu “ Tuhan menambah hidayatnya bagi orang yang telah memperoleh hidayat” dan Tuhanpun memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon tambahan pengetahuan.  Praktek ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu  dari  aneka pengaruh negative yang bersumber dari dalam diri manusia dan  dari lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik, -yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk meneladani sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karena itu ibadah harus terus berlanjut hingga akhir hayat, dan karena itu pula pembentukan karakter adalah  suatu proses tanpa henti. 
Kalau merujuk kepada ajaran agama dan keberhasilan para nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan mereka.  Tentu tidak mudah hal itu  dipaparkan  secara utuh dalam kesempatan ini. Namun yang jelas, mereka tidak sekedar menyampaikan informasi tentang makna  baik  dan  buruk. Memang ini diperlukan untuk mewujudkan pemahaman yang mengantar kepada perubahan positif, tetapi jika terbatas hanya sampai disana, maka  ini  hanya mengantar kepada pengetahuan yang menjadikan pemiliknya pandai berargumentasi tentang kebaikan sesuatu- walau mereka tidak mengerjakannya  atau mengeritik keburukan yang mereka jumpai –walau mereka sendiri melakukannya. Hal serupa inilah yang kini tidak jarang terjadi dalam masyarakat kita.

I. Pembelajaran Kontekstual
            Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa. Model-model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan keterlibatan aktif siswa dalam belajar. Baik dalam tugas-tugas mandiri maupun kelompok. Di samping itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuan dan komponen yang sangat mendukung bagi terlaksananya nilai-nilai karakter bangsa.
Pertama, construcivism. Guru meyakinkan pada pikiran siswa bahwa ia akan belajar lebih bermakna jika ia mampu bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan membentuk atau membangun pengetahuan atau keterampilan barunya sendiri.
Kedua, inquiry. Guru dan siswa melaksanakan proses penemuan pengetahuan secara mandiri, dan menjadi inti dari pembelajaran kontekstual. Komponen ini sangat mendorong tumbuhnya nilai kemandirian pada siswa.
Ketiga, questioning. Guru dan siswa senantiasa mengembangkan pertanyaan agar menumbuhkan rasa ingin tahu. Komponen ini mendorong terwujudnya nilai orientasi pada keunggulan. Hal ini juga merupakan alat bagi siswa untuk dapat menyelesaikan masalah belajar ketika mendapati tantangan.
Keempat, learning community. Guru senantiasa membiasakan memabngun belajar kelompok, atau dapat juga berpasangan. Kemudia siswa dilatih dan dimantapkan pengetahuannya untuk bekerja secara perorangan. Komponen ini sangat penting bagi upaya terwujudnya nilai demokratis, menghargai, gotong royong, bertanggung jawab, dan orientasi pada keunggulan.
Kelima, modelling. Dalam sebuah pembelajaran keterampilan tertentu ada model yang bias ditiru, baik dari guru, siswa maupun alat peraga yang digunakan untuk mempermudah pemahaman siswa. Komponen ini dapat melahirkan nilai-nilai berakhlak mulia, iman, dan taqwa, cinta tanah air, dan kreatif. Hal ini dapat dipahami misalnya ketiga guru sejarah menerangkan figure Pangeran Diponegoro yang relegius berjuang dengan jiwa dan raga untuk menjaga martabat bangsa.
Keenam, reflection. Cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan. Refleksi dapat berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu, baik berupa catatan atau jurnal di buku siswa, kesan maupun saran siswa. Komponen ini dapat melahirkan kesadaran untuk senantiasa berinteropeksi diri setiap kali telah melakukan sesuatu.
Ketujuh, authentic assessment. Proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, baik oleh guru maupun siswa. Khususnya bagi siswa, komponen ini membiasakan siswa untuk dapat mengukur diri apakah sudah baik? Apakah sudah maju? Apakah sudah berhasil? Adakah hambatan? Atau bagaimana cara mengatasi hambatan?.Cepat atau lambat jika kita merasa bertanggung jawab untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam semua sector kehidupan berbangsa dan bernegara, maka para pendidik senini mungkin harus menyisipkan nilai-nilai karakter bangsa.


BAB III
PENUTUP


  Demikianlah makalah yang saya buat ini yang berjudul “Olahraga Sebagai Pembangun Karakter Watak Bangsa”. Materi dalam makalah ini hanya sebagai dasar pengetahuan untuk belajar lebih lanjut anda bisa mengembangkannya sendiri dari berbagai sumber-sumber lainnya.
  Kemudian apabila ada kata-kata yang salah yang terdapat di makalah ini saya mohon maaf karena tidak ada manusia yang sempurna selain Allah SWT.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar